Saat ini aku menulis tanda ingatanku kepada Yang Maha Mencipta dan Baginda Rasul S.A.W

Bila melihat awan, langit, bumi, lautan mengingatkan aku kepada betapa besarnya Sang Pencipta. Terasa kerdil sekali diri ini bila hendak berdepan dengan Mu. Saat ini juga membuatkan aku menangisi segala kesilapanku yang lalu dan belum mampu aku tinggalkan. Aku mencari sebutir permata untuk ku jadikan cahaya pada jalanku yang gelap ini. Sesungguhnya ujian Allah kepada hambanya terlalu besar dan cukup mengajarku tentang erti kesabaran dan berusaha menjadi lebih baik daripada semalam walaupun ianya terlalu sukar dan memeritkan...

Wednesday, November 24, 2010

BERKATA BAIK atau LEBIH BAIK DIAM, serta MEMULIAKAN TAMU

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”. [Bukhari no. 6018, Muslim no. 47]

Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”, maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanannya itu) menyelamatkannya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah :
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya”. (QS. Al Isra’ : 36)

dan firman-Nya:
“Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS. Qaff : 18)

Bahaya lisan itu sangat banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
“Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak dapat mengendalikan lidahnya”.

Beliau juga bersabda :
“Tiap ucapan anak Adam menjadi tanggung jawabnya, kecuali menyebut nama Allah, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran”.

Barang siapa memahami hal ini dan beriman kepada-Nya dengan keimanan yang sungguh-sungguh, maka Allah akan memelihara lidahnya sehingga dia tidak akan berkata kecuali perkataan yang baik atau diam.

Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber pada empat Hadits, antara lain adalah Hadits “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Sebagian ulama memaknakan Hadits ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang ia katakan itu baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh karena itu, ia mengatakan hal yang baik itu. Jika tidak, hendaklah dia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau mubah”. Dalam hal ini maka perkataan yang mubah diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan untuk dijauhi Karena takut terjerumus kepada yang haram atau makruh dan seringkali hal semacam inilah yang banyak terjadi pada manusia.

Allah berfirman :
“Apapun kata yang terucapkan pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS.Qaaf : 18)

Para ulama berbeda pendapat, apakah semua yang diucapkan manusia itu dicatat oleh malaikat, sekalipun hal itu mubah, ataukah tidak dicatat kecuali perkataan yang akan memperoleh pahala atau siksa. Ibnu ‘Abbas dan lain-lain mengikuti pendapat yang kedua. Menurut pendapat ini maka ayat di atas berlaku khusus, yaitu pada setiap perkataan yang diucapkan seseorang yang berakibat orang tersebut mendapat pembalasan.

Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya…….., maka hendaklah ia memuliakan tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik terhadap mereka. Allah telah menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Jibril selalu menasehati diriku tentang urusan tetangga, sampai-sampai aku beranggapan bahwa tetangga itu dapat mewarisi harta tetangganya”.

Bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih. Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari mereka berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.

Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadits ini mengandung hukum, hendaklah kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang tidak boleh dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang lain. Juga anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan wajah senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah ia segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”. Pengarang juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.

Selanjutnya ia berkata : Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” , menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu lebih utama daripada diam, dan diam itu lebih utama daripada berkata buruk. Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya menggunakan kata-kata “hendaklah untuk berkata benar” didahulukan dari perkataan “diam”. Berkata baik dalam Hadits ini mencakup menyampaikan ajaran Allah dan rasul-Nya dan memberikan pengajaran kepada kaum muslim, amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, berkata yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan pemberiannya.

____________________
Diambil dari Hadits Arba’in An-Nawawi Dengan Syarah Ibnu Daqiqil ‘Ied , versi e-book, oleh Abu ‘Abdillah



Monday, November 15, 2010

Salam Eid Adha

Salam Eidul Adha kepada keluarga, sahabat, rakan dan teman...Sesungguhnya pengorbanan kalian amat dihargai...May God Bless U All.




Saturday, November 13, 2010

Aku dan alam misteri...

Renung gambar ini selama 3-5 saat anda akan lihat sebuah potret yang hidup..



P/s : Jan lupa matikan lampu...


Friday, November 12, 2010



Namun ku punya hati

Senyum mu tak seghairah
Gerak gaya tidak selincah
Mata ku tak seayu
Kicau burung pun tak semerdu

Namun ku punya hati
Juga gaya ku perasaan
Hidup ku yang begini
Kadar waktu diizin Tuhan

Tidak ku minta lahir ke dunia
Tidak ku duga cacat begini
Bukan ku minta kasih dan manja
Bukan ku rayu bantu simpati

Maafkan wahai teman
Ku menumpang di sudut dunia
Mencari ketenangan
Sampai masa ku pergi jua


Wo He Tong Hu A

Memburu Rindu Lyrics

Hattan :-

Kemanakah Hatimu Kala Aku
menanti Kata Cinta Mengalir Air Mata
kala Sepi Tiba

terasakan Langkahmu Makin Laju
melangkah Batas Rindu
dan Aku Pun Memburu
mentari Yang Jauh

berikanlah Masa Untukku
mendendangkan Kasih Dalam Syahdu
tidak Terhenti Pilu Di Dadaku
terlepas Bayangmu

kugenggam Angin Semalam
kusimpan Jadi Nyanyian
kupeluk Bayang Hitamku
menjadi Kamus Mimpiku

Aku seorang arjuna cinta

Nah terbongkar suda rahsia cun rumah tangga

اللَّهُمَّ حَبِّبْ عَبْدَكَ هَذَا إِلَى عِبَادِكَ الْمُؤْمِنِينَ وَحَبِّبْ إِلَيَّ الْمُؤْمِنِينَ

Maksudnya: “Ya Allah jadikanlah hamba-Mu ini mencintai orang yang beriman dan jadikanlah orang yang beriman mencintaiku.” (Riwayat Muslim no. 2491)

Amalan
Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Abu Hurairah r.a. telah memohon Nabi s.a.w. agar berdoa kepada Allah s.w.t. agar memberikan hidayah kepada ibunya supaya memeluk Islam. Dengan doa Nabi s.a.w. yang juga menunjukkan mukjizat Baginda, ibu Abu Hurairah r.a. telah memeluk Islam. Kemudian beliau meminta kepada Nabi s.a.w. agar dia dan ibunya dicintai oleh sekalian orang-orang yang beriman. Nabi s.a.w. telah mendoakan untuk mereka dengan doa di atas dengan sedikit penambahan iaitu kalimah “wa ummuha” (dan ibunya) selepas kalimah “abdaka haza”. Hasil doa Nabi s.a.w. ini, setiap orang beriman yang lahir akan melahirkan rasa cinta apabila mendengar tentang Abu Hurairah. Oleh sebab itu, doa ini boleh digunakan oleh pasangan suami isteri untuk mengikat serta menyuburkan rasa kasih sayang sesama mereka.

Dipetik daripada Doa Menjadi Pengantin Baru Setiap Hari, Zahazan Mohamed, terbitan Telaga Biru Sdn. Bhd.

Thursday, November 11, 2010

Cinta Aku seorang Arjuna...

Aliff Aziz
Cinta Arjuna (Tong Hua) lyrics


Ku peluk indah manisnya cinta
Semuanya terasa indah
Bagai di alam cerita cinta
Hadir bahagia selama-lama

Katamu kekasih yang sedang kita alami
Takkan kekal 'tuk selamanya
Mengapa kekasih
Tiada kau percaya
Kebenaran cerita kita

Bagaimanakah lagi untuk aku buktikan
Selamilah pada kejujuranku
Jadikan ku arjuna, arjuna di hatimu
Percayalah oh puteri

Katamu kekasih yang sedang kita alami
Takkan kekal 'tuk selamanya
Mengapa kekasih
Tiada kau percaya
Kebenaran cerita kita

Bagaimanakah lagi untuk aku buktikan
Selamilah pada kejujuranku
Jadikan ku arjuna, arjuna di hatimu
Percayalah oh puteri

Bagaimanakah lagi untuk aku buktikan
Selamilah pada kejujuranku
Jadikan ku arjuna, arjuna di hatimu
Percayalah oh puteri

Bagaimanakah lagi untuk aku buktikan
Selamilah pada kejujuranku
Jadikan ku arjuna, arjuna di hatimu
Percayalah oh puteri
Ooooh... Percayalah bidadari....


Bila soalan periksa pun datang HAID.


Bila soalan peperiksaan pun datang haid. Maka mengaduhlah para calon yang merdeka dek cengkaman dan kesakitan perut yang terlampau. Senggugut mula merimaskan dan mengganggu kegembiraan da ketenangan dalam menjalani kehidupan...apapun ini lumrah kehidupan..



Bila soalan peperiksaan pun datang haid. Maka nafsu yang memuncak terpaksa ditangguhkan kerana menuruti aturann dan hukum karma Tuhan. Melanggar merupakan suatu dosa dan kesabaran menanti merupakan suatu pahala. Namun masih ada ruang untuk menggembirakan sang nafsu yang berserakah walaupun tanpa menulusuri lurah biasa dan hanya bermain di taman2 biasa..kerana ia adalah kunci latihan kesabaran...apapun ini lumrah kehidupan...

Bila soalan peperiksaan pun datang haid. Maka emosi para calon yang telah bebas begitu meuncak dengan amarahnya. Jika ada yang tersenyum sinis maka usah dinanti kerana pasti akan dihambur dengan amarah yang tidak menentu. Adapun ia lumrah biasa apabila berbual dengan si hormon yang hanya menjalankan tugasnya. Maka marah itu bukan perlu ditakuti cuma sekadar mengingati betapa hati perlu dijaga dan dihormati...apapun ini lumrah kehidupan...

Bila soalan peperiksaan pun datang haid. Masa untuk kita kumpul kekuatan diri dan memuhasabah diri kerana pasti dan pasti saat suburnya nanti pasti diberikan layanan yang paling istimewa dan terindah demi menanam benih yang diredhai dan diberkati sehingga ke akhir hayat...

kerana...
Inilah lumrah bila soalan peperiksaan pun datang haid...



p/s : nukilan ini saya nukilkan khas bersempena kes pengulangan peperiksaan satu Malaysia kertas ilmu pendidikan untuk KPLI 2010. :)

Apabila peperiksaan diumpakan sebuah peperangan dan ada golongan yang menjadi musuh dalam selimut

Pada zaman Nabi Muhammad, ketika mulai terlihat kekuatan islam sesudah meraih kemenangan dalam perang Badar, barulah ada orang-orang yang berpura-pura islam padahal hatinya masih tetap kafir seperti Abdullah bin Ubay, tokoh khazraj yang pernah akan dinobatkan sebagai pemimpin di Madinah, tetapi gagal karena tiba-tiba nabi datang di kota Madinah.
Pada waktu perang Uhud, nabi keluar dari Madinah bersama ± 1000 orang pasukan. Ketika di tengah perjalanan antara Madinah dan Uhud, Abdullah bin Ubay bersama ± 300 pasukannya yang umumnya para pendukungnya, melakukan desersi dan kembali pulang.
Bukhari meriwayatkan bahwa kaum muslimin berselisih pendapat dalam menanggapi desersi ini. Sebagian mengatakan “kita perangi mereka”, sebagian lagi mengatakan “biarkan mereka”. Lalu turun Surat An-Nisa ayat 88.
Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafiq, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barang siapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. (QS An-Nisa : 88 )
Al Qurtubhi ketika ditanya tentang hikmah mengapa nabi tidak membunuh mereka padahal ia mengetahui keadaan mereka? Maka jawabnya adalah sebagaimana yang tersebut dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah berkata kepada Umar radhiallahu ’anhu : Saya tidak suka orang-orang menyiarkan bahwa Muhammad membunuh kawan-kawannya.
Khawatir kalau-kalau orang-orang Arab yang tidak mengetahui sebab pembunuhan itu, mungkin mundur dan takut masuk islam.
Imam Malik berkata, Rasulullah tidak membunuh orang munafiq untuk menjelaskan bahwa seorang hakim tidak boleh menghukum menurut pengetahuannya sendiri.
Imam Syafi’i berkata, yang menahan Nabi untuk tidak membunuh orang-orang munafiq padahal Nabi mengetahui keadaan mereka, karena mereka telah menunjukkan apa yang dapat menahan (memelihara) darah dan harta mereka. Sebagaimana tersebut dalam hadits shahih :
Aku diperintah memerangi orang-orang sehingga mereka mengucap : laa ilaaha illallah. Maka bila mereka telah mengucapkannya, terpelihara dari padaku darah dan harta mereka kecuali dengan haknya dan perhitungan mereka terserah kepada Allah Azza wa Jalla.
Juga pada waktu perang Tabuk, salah satu sifat dan ciri kaum munafiq terlihat. Kaab bin Malik berkata, pada waktu itu Rasulullah mengumumkan peperangan ini kepada kaum muslimin tidak seperti biasanya. Beliau melakukan perang Tabuk dalam musim yang sangat panas, menempuh jarak yang sangat jauh dan musuh yang berjumlah sangat besar. Thabarani meriwayatkan dari hadits Ibnu Hushaih bahwa jumlah tentara Romawi sebanyak ± 40.000 personil.
Demikianlah perjalanan dalam peperangan ini sangat berat dirasakan oleh jiwa manusia. Ini merupakan ujian dan cobaan berat yang membedakan siapa yang di dalam hatinya ada nifaq dan siapa yang benar-benar beriman (Bukhari dan Muslim)
Orang-orang munafiq berkata kepada sebagian lain, “janganlah kalian berperang di musim panas”.
Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang)dalam panas terik ini”. Katakanlah: “Api neraka Jahanam itu lebih sangat panas (nya)”, jika mereka mengetahui. (QS At-Taubah : 81)

Wednesday, November 10, 2010

Kerana duri dalam daging menanti balasan!




Seingat aku lama suda aku tidak menjadi marah sebegini. Namun kewujudan gunting dalam lipatan yang mementingkan diri sendiri telah menyebabkan sekam kembali membara apinya...cukuplah dengan tikaman yang hampir merebahkan ku sebelum ini. Kenapa ada masih manusia yang terlalu pentingkan diri? Adakah kerana cemburu melihat orang lain lebih mudah untuk mendaki gunung? sedangkan dia tidak berupaya ketika itu? Insaflah kerana kau sebenarnya menagih balasan! Tapi bukan aku yang membalas...balas sendirilah...hehehe





Surat Dari Anak Mak Yang Dah Tak Naka

sumber : iluvislam.com

ISN, 20 SEP 2010 16:12 | UMARZAHRAWI | EDITOR: AEYIE®


Mak...
Terlalu bosan rasanya duduk membilang hari...
Dah hampir sepuluh bulan mak pergi
Rasanya baru semalam mak peluk kiter kan sejuk syahdu masih terasa lagi nih...

Mak tau tak...
itu lah pertama kali mak peluk anak mak yang nakal ni sejak kiter dewasa...
dan itu juga terakhir kalinya
Emmmm...rupanya mak dah tau mak nak pergi jauh...
nak tinggal kan anak-anak mak... nak tinggal kan dunia fana ni...

Mak macam dah sedia...
Seminggu sebelum tu...
Mak dah menganyam tikar mengkuang 3 helai...
Akak kata sampai ke pagi mak anyam tikar tuu...
Tanpa rasa mengantuk, tanpa rasa letih...
Kakak pun rasa hairan...
Mak tak penah buat gitu...

Pastu mak pasang radio kecil di sebelah mak...
Tapi mak seolah-olah tak sedar bahawa rancangan radio tu siaran siam ...
Kengkadang siaran indonesia ...
Mak terus tekun menganyam...
Rupanya tikar yang telah mak siapkan tu di gunakan untuk mengiringi mak ke kuburan...

Pastu mak sapu sampah sekeliling rumah bersih-bersih...
Pastu mak jemur karpet-karpet. ..
Pastu mak ubahkan sofa ke tempat lain..
Mak biarkan ruang tu kosong..
Rupanya kat situ jenazah mak diletakkan...

Paling menarik sekali mak bagitau kat maner sume duit dan barang kemas mak..
Ada kat dalam almari...
Ada kat dalam dalam beg...
Ada dalam ASB...
Ada kat dalam Tabung Haji..
Mak cakap tak berapa cukup lagi...
Ada kat dalam gulung tikar...

Masa tu mak perasan takk..??
Kiter gelak sakan bila mak bagitau duit dalam gulung tikar...
Kiter kata mak ni memang pesenn lama laaa...
Mak cuma gelak jer...
Eeemmm..bahagiaa nya saat ituu...

Mak... Hari tu hari sabtu 18 Ogos 1999 pukul 3 petang mak tiba-tiba sakit perut...
Bila malam tu kiter sampai dari KL...
Mak dah dalam kesakitan.
Akak dan abang kat kampong semua dah pujuk...
Mak tetap takmau pi hospital...
Dan cuma tinggal giliran kiter sahaja yang belum pujuk..
Mak kata mak takmau duduk dalam hospital...
Tapi kiter berkeras juga pujuk..
Nanti di hospital ada doktor...
Ada ubat untuk mak..
Kat rumah kami hanya mampu sapu minyak dan urut jer...

Mak tetap tak bersetuju...
Mak memang degil..
Tak salah, anak mak yang ni pon mengikut perangai mak tu..
Tapi akhirnya bila melihat keadaan mak makin teruk...
Mak sakit perut sampai nak sentuh perut mak pon sakit
Kami adik beradik sepakat hantar juga mak ke hospital...

Mak...
Ampunkan kami semua...
Kami nak mak sehat...
Kami sayang mak...
Kami tak mau mak sakit...
Kami terpaksa juga hantar mak ke hospital...
Ampunkan kami yer mak...

Mak... Malam itu abang bawa mak ke hospital
Dan itu lah pertama dan terakhir kali mak naik kereta kiter...
Masih terbayang betapa ceria dan gembiranya mak
Kiter kata nak beli kereta...
Mak asyik tanya ajer..
Cukup ker duit..
Kiter jawab pula...
Kalau tak cukup, mak kan banyak duit...
Mak gelak ajerr...

Lepas tu bila kereta kiter sampai...
Mak buat kenduri kesyukuran...
Dan kiter masih ingat lagi...
Bila kiter eksiden terlanggar Ah-Chong naik motor...
Punya la kiter takut...
Kiter warning kakak kiter jangan sesekali bgtau kat mak...
Bila balik sahaja kampong...
Kiter cepat-cepat simpan keta dalam garaj...
Tapi mak perasan juga bumper depan kemek...
Mak tanya kenapa...?
Selamba jerr kiter jawab terlangar pokok bunga...

Mak...
Tujuan kiter menipu tu supaya mak tak risau...
Maafkan kiter kerana sampai mak pergi mak tak tau hal sebenar...
Mak, kiter menipu mak kan ...
Ampon kan kiter...

Mak...
Jam 4.30 pa gi 19 Ogos 2006
Bila tiba aja kat hospital...
Nurse tengah balut mak dengan kain putih...
Mak mesti nampak kiter jatuh terduduk di lantai hospital...
Mesti mak nampak abang cium dahi mak...
Mesti mak nampak akak baca doa untuk mak...
Mesti mak nampak adik terduduk kat kerusi kat sudut itu...
Mesti mak nampak semua tu kann... kann... kannn...

Mak tau tak...
Pagi tu balik dari hospital jam 5.20 pagi kiter mamandu dalam keadaan separuh sedar...
Adik kat sebelah diam melayan perasann...
Kenangan bersama mak berputar dalam kepala ini...
Jalan di depan terasa makin kelam...
Airmata dah tak mampu di tahan...
Masa tu seandainya apa-apa terjadi di jalan itu kiter rela...
Namun alhamdulillah akhirnya kiter sampai juga...
Di sebab kan pagi masih awal, jadi jalan tu lenggang..
Kosong...sekosong hati ini...
Sepanjang perjalanan terasa kedinginan subuh itu lain benar suasananya...
Terasa syahdu dan sayu...dinginnnn...

Mak...
Kiter masih ingat lagi...
Kiter baca AlQuran kat tepi mak temankan mak...
Jam 11.00 pagi mak di mandi kan ...
Anak2 mak yang pangku masa mak mandi...
Mak mesti rasa betapa lembut nya kami mengosok seluruh tubuh mak...
Kiter gosok kaki mak perlahan lahan...
Mak perasan tak...?

Makcik yang mandikan mak tu pujuk kiter...
Dia kata... "dikk...jangan nangis... kalau sayang mak jangan buat gitu... jangan nangis ya.."
Bila makcik tu kata gitu...
Lagi laaaa... laju airmata ni..
Tapi kiter kawal supaya tak menitik atas mak...

Mak...
Sampai takat ini surat ni kiter tulis...
kiter nangis ni...
Ni kat dlm bilik...baru pukul 4.00 pagi...
Takder orang yang bangun lagi...
Kiter dengar nasyid tajuk "anak soleh" kiter sedih...
Kiter rindu kat mak..!
Takpa la...
Nanti bila kita selesai sembanyang subuh,
Kiter baca yassin untuk mak...
Mak tunggu ya..!

Mak..
Sebelum muka mak di tutup buat selamanya...
Semua anak-anak mak mengelilingi mak...
Menatap wajah mak buat kali terakhir...
Semua orang kata mak seolah-olah senyum aja...
Mak rasa tak...
Masa tu kiter sentuh dahi mak...
Kiter rasa sejukkkk sangat dahi makk...
Kiter tak mampu nak cium mak...
Kiter tak daya...
Kiter tuliskan kalimah tauhid kat dahi mak dengan air mawar...
Airmata kiter tak boleh tahan...
Mak mesti ingat kan yang anak mak ni jadi imam solat jenazah untuk mak...
Tapi kite suruh tok imam bacakan doa sebab kite sebak...

Jam 12 tengahari mak diusung keluar dari rumah...
Akak pula dah terkulai dlm pelukan makcik...
Badan akak terasa panas...
Makk...
Anak mak yang seorang tu demam...

Mak tauu...
Cuma akak sorang saja anak mak yang tak mengiringi mak ke tanah perkuburan.. .

Mak... Hari-hari ku lalui tanpa kewujudan mak lagi...
Begitu terasa kehilangan mak...
Boleh kata setiap malam selepas maghrib anak mak ini berendam airmata...
Dan sampai satu tahap...
Masa tu malam jumaat selepas maghrib...
Selepas kiter baca yassin ngan kawan-kawan...
Entah kenapa biler kat bilik kiter keluarkan gambar-gambar mak pastu apa lagi...
Semakin kiter tenung terasa semakin sayu...
Tangisan tak dapat dibendung...

Mak tauu...
Kiter cuba bertahan...
Memujuk diri sendiri tapi tak juga reda...
Kiter rasa nak telefon mak...
Nak cakap dengan mak...
Anak mak yang ni dah tak betul kan ...????
Dan akhirnya dalam sedu sedan itu kiter telefon kampong...
Kiter cakap dengan kakak..kiter nangis lagi...
Puas la kakak memujuk kiter...
Akak kata... "tak baik laa nangis aje.. doa lah untuk mak.."
Dan akhirnya akak juga nangis...

Mak tau tak..
Di saat itu kerinduan terasa menusuk sehingga ke hulu hati...
Rasa nyilu sangat...
Menusuk-nusuk sehingga terasa begitu sakit dalam dada ni...
Sampai sekarang bila kerinduan itu menjelma...
Hanya sedekah al-fatihah kiter berikan...

Mak...
Cukup la sampai sini dulu...
Kawan kiter dah ketuk pintu bilik tu...
Kejap lagi kami nak pergi solat subuh kat masjid...
Selalunya, kiter yang bawak mak naik motor kan ...
Kali ni kiter jalan kaki dengan kawan pulak...
Esok kiter ingat nak tulis surat kat ayah pula...
Mula-mula kiter tak tau nak hantar mana surat nih...
Pastu kawan kiter bgtau...
Simpan je buat kenangan..
Kiter cuma tau alamat ni aje...
Takper yer mak...k
Kiter kasi orang lain baca...
Kiter stop dulu...
sebab kawan kiter dah lama tunggu tu...
akhir kata untuk mak
I LOVE YOU SO MUCH
Dan jutaan terima kasih kerana membesarkan kiter...
Memberi seluruh kasih sayang dari kecil sampai masuk sekolah..
Sampai masuk universiti..
Sampai kiter boleh rase naik kapal terbang...
Boleh rasa duduk kat negara orang... sampai akhir hayat ini jasa mak tak akan mampu kiter balas..

Sekian terima kasih,
Yang Benar Anak mak yang dah tak degil

Tuesday, November 9, 2010

11 mutiara dieram jari jemari...

Ada 11 butir mutiara berasingan perlu ku kutip dan cari sepanjang perjalanku sebagai anak rantau...hari berganti bulan dan setiap kali bulan itu cerah, musafirku menemukan aku dengan setiap butir mutiara...walaupun perjalanan untuk mendapatkannya tidak semudah mengukirkan kata aku tetap mengukirkan kalam syukur kehadrat Allah Taala kerana pencarian 11 butir mutiara ini sampai ke penghujungnya...kalam syukur tidak terhingga juga walau ada racun dan duri yang kerap mendugaku dan teriakan serigala yang menyeramkanku, di sebalik 11 butir mutiara juga ku ditemukan dengan lombong emas dan permata yang kalaupun ia tidak dapat ku miliki namun ku puas menghayati dan menginsafi setiap inci sinaran dan keindahannya...tatkala 11 butit mutiara telah berada di genggaman rindu sekali rasanya untuk melihat dan mengingati kembali segala keperitan dan dugaan yang perlu ku lalui sepanjang menjadi anak kelana...Kalau ia umpama sebutir mutiara yang dapat ku genggam dan ku simpan sehingga kini pasti akan ku bawa ia bersama tapi apakan daya nyiru tapak tanganku sekadar cuma...hanya ingatan dan kenangan yang dapat ku abadikan sebagai panduan dan pedoman di masa hadapan...Apapun dengan 11 butir mutiara ini ku pasti ia akan menjadi pemudah dan pembuka lembaran baru kepada butiran- butiran kata sapaan kepada riwayat hidup yang bakal ku tempuh nanti...alhamdulillah...

Thursday, November 4, 2010

Siri Hidup Biar Berilmu : Taklid dan talfiq (perbincangan dan pengamalan mazhab)

Pembahasan ini telah dibicarakan secara terperinci dan hingga ke dasarnya di dalam ilmu Usul Fiqh. Ilmu ini amat penting bagi mereka yang benar-benar mendalami dasar-dasar pembinaan hukum Islam.
Taklid ialah: Mengikut pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilannya. Seperti seseorang itu mengikut pendapat Imam SyafiI tanpa mengetahui dalilnya atau hujahnya. Orang seperti ini disebut muqallid.

Apa hukum bertaklid?
Hukum-hakam amaliyah dapat kita bahagikan kepada 2:

1. Hukum-hakam yang dapat diketahui tanpa memerlukan penelitian dan ijtihad. Iaitu hukum-hakam yang telah ditetapkan oleh dalil yang qathI dan yang dapat diketahui dengan segera. Ia disebut sebagai `al-malum minad din bid-dharurah. Contohnya ialah hukum tentang kewajipan sembahyang lima waktu, kewajipan puasa bulan ramadhan, bilangan rakaat dalam sembahyang dsbnya. Ini semua dapat diketahui oleh semua umat Islam. Pengetahuan tentang hukumnya tidak memerlukan kepada penelitian terhadap dalil-dalilnya.
Dalam maslaah ini, seseorang itu tidak dibenarkan bertaklid, kerana semua orang dapat mengetahuinya.

2. Hukum-hakam yang memerlukan penelitian dan ijtihad. Masalah-masalah yang berada di bawah kategori ini amat banyak sekali. Seperti masalah yang hukum menyentuh perempuan ajnabi, apakah batal wuduk? Ini adalah masalah yang termasuk di dalam kategori ini. Sebab, masalah ini memang ada dalilnya dari al-Quran. Tetapi dalilnya perlu diteliti terlebih dahulu untuk diketahui Apakah hukum yang boleh dikeluarkan darinya. Dalam penelitian dan kajian ini, sudah semestinya terjadi perselisihan pendapat. Mazhab-mazhab dan perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan ulamak terjadi dalam dalam masalah yang seumpama ini.

Orang yang berusaha meneliti dalil-dalil, kemudian mengeluarkan hukum dari dalil berkenaan di namakan sebagai mujtahid. Antara mereka adalah seperti Imam SyafiI, Malik, Hanbali dll. Manakala mereka yang mengikutnya atau memakai hukum yang dikeluarkan oleh mujtahid disebut sebagai orang yang bertaklid. Perbuatan mengikut/memakai hukum berkenaan disebut sebagai bertaklid.
Dalam masalah inilah yang dibenarkan bertaklid.

Kebanyakkan ulamak Usul (Usul Fiqh) mengatakan bahawa mereka yang tidak berkeupayaan untuk berijtihad wajib mengikut dan mengambil pendapat atau fatwa dari para mujtahid (org yg berkeupayaan berijtihad).

Bertaklid kepada mazhab-mazhab

Mazhab-mazhab masyhur yang wujud hingga sekarang ini ialah mazhab SyafiI, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Kita di Malaysia rata-rata bertaklid kepada mazhab Syafii.

Soalan: Apakah kita boleh bertukar kepada mazhab lain?
Jawab: Boleh. Kerana, apa bezanya SyafiI dan lain-lain mazhab di atas? Jika kita boleh bertaklid kepada mazhab SyafiI, ini bermakna kita juga boleh bertaklid kepada mazhab-mazhab lain.
Menurut Al-Amidi, Ibnu al-Najib dan Kamal al-Hummam, tidak wajib bertaklid kepada seorang mujtahid (mazhab) tertentu. Dalam satu masalah, mereka boleh beramal dengan mazhab ini, kemudian dalam masalah lain mereka beramal dengan mazhab lain.

Berdasarkan pendapat ini, jika kita bertaklid dengan mazhab SyafiI dalam satu-satu masalah, tidak semestinya kita mesti bertaklid dengan mazhab ini dalam semua masalah. Dibenarkan mengamalkan pendapat dari mazhab-mazhab lain.
Taklid yang diharamkan ialah:
1. Bertaklid kepada seseorang tanpa mengendahkan al-Quran dan Sunnah.
2. Bertaklid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya berijtihad.

Talfiq
Ialah mengikut pendapat satu-satu imam dalam satu-satu masalah, kemudian bertaklid kepada imam lain dalam masalah lain. Contoh, mengambil wuduk ikut cara Hanafi dan sembahyang ikut cara Syafii. Ataupun, pada hari ini dia bersembahyang ikut pendapat SyafiI dengan membaca Bismillah.., esoknya dia bersembahyang ikut pendapat Hanafi dengan tidak membaca bismillah.
Inilah yang dikatakan sebagai talfiq.

Kebanyakkan ulamak membahagikan talfiq kepada dua:

1. Mengambil pendapat yang paling ringan di antara mazhab-mazhab dalam beberapa masalah yang berbeza. Contoh: Berwuduk ikut Hanafi dan sembahyang ikut Maliki.

Apa hukumnya? Menurut ulamak-ulamak ini, talfiq dengan cara begini adalah dibenarkan, kerana dia mengamalkan pendapat yang berbeza dalam dua masalah yang berbeza Wuduk dan sembahyang.
Talfiq begini dibenarkan dalam bidang ibadah dan muamalat sebagai keringanan dan rahmat dari Allah Taala terhadap umat Muhamad.

Dibenarkan juga mengambil pendapat yang paling ringan antara mazhab-mazhab dalam satu masalah. Ia diamalkan pada masa yang berlainan yang tidak bergantung satu sama lain.
Contoh, Ali berwuduk menurut syarat-syarat yang telah ditetap oleh Syafii. Pada waktu lain dia berwuduk menurut syarat-syarat yang ditetapkan oleh Hanafi.

Talfiq seperti ini dibenarkan kerana wuduk pertama yang menurut syarat SyafiI telah selesai dan digunakan untuk satu-satu ibadah hingga selesai. Kemudian wuduk keduanya menurut Hanafi juga selesai dan digunakan untuk tujuan tertentu hingga selesai. Jelasnya ia dilakukan, sekalipun masalahnya sama tetapi dalam peristiwanya berbeza.


2. Mengambil pendapat yang paling ringan di antara mazhab-mazhab dalam satu masalah. Talfiq begini tidak benarkan.
Contoh, Ali bernikah tidak menggunakan wali kerana ikut Hanafi. Dia tidak memakai 2 saksi kerana mengikut pendapat Maliki.
Pernikahan seperti ini adalah batal/tidak sah.

Untuk menjelaskan lagi mengenai mengambil pendapat yang ringan ini kita bahagikan juga kepada dua:

Pertama: ringan itu kerana seseorang itu dari jenis yg sukakan yg mudah-mudah dalam agama dan yg ringan itu disandarkan pd dalil yg lemah atau hadis yg dha'ef. Jika keringanan ini disandarkan pada dalil yg lemah atau hadis dha'ef bahkan mungkar sedangkan ada pendapat lain yg disandarkan pada dalil yg kuat atau hadis hasan atau sahih, maka ini talfiq (memilih yg ringan2) yg dilarang.

kedua: jika pendapat yg ringan itu disokong oleh dalil yg kuat, menyamai pendapat yg keras juga disokong oleh dalil yg kuat, maka orang awam digalakkan mengambil yg ringan dan mudah sesuai dengan intipati Islam itu mudah dan tidak mempersukar. Ini talfiq yg harus (Prof Hasbi Siddiqiey, Pengantar Ilmu Fiqih, Pustaka Rizki Putra, Semarang.)

Ittiba
Ialah menerima pendapat orang lain dengan mengetahui sumber atau hujahnya.
Ittiba adalah sebaik-baik cara menerima dan mengamalkan pendapat dari mujtahid.


sebenarnya orang awam tidak ada madzhab. Madzhab atau ikutan masyarakat ialah ulama' yg ada disekelilingnya atau siapa yg ia sering bertanya. Jika anda bertanya orang Hanafi, maka anda boleh ikut. itulah cara taklid. Orang bertaklid tak ada madzhab.

Jika anda membuat keputusan untuk ittiba' (meneliti dalil), maka anda hendaklah meneliti satu persatu bermula dari taharah, wudhu', tatacara solat, puasa, Zakat, haji, mengikut pendapat semua madzhab. Anda kena kosongkan kecenderungan pada mana-mana madzhab, anda hendaklah mencari pendapat yg paling kuat dalam setiap aspek fiqh harian anda.
itulah pilihan yg anda:

jika anda hanya ingin taklid dan akan bertanya dari masa kesemasa, maka anda tidak perlu ikut mana-mana madzhab, sebab muqallid tidak perlu tahu dalil dan sandaran.
Jika anda kemampuan utk mengikuti perbahasan dalam fiqh, maka anda boleh memilih mana-mana pendapat Madzhab mengikut kajian anda paling kuat.

Tidak ada nas syara' yg mengatakan madzhab duduk dibaris ketiga selepas AQ dan asSunnah. Banyak orang menganggap madzhab adalah rukun ketiga fiqh selepas AQ dan asSunnah.
Ini adalah myth sahaja. WA


Wassalam


Siri Hidup Biar Berilmu : Pelbagai Mazhab (campur aduk mazhab)

Artikel dibawah membahaskan tentang talfiq iaitu mencapur adukkan amalan mazhab dalam urusan harian. Semoga kita lebih berilmu :)

Dr. M. Said Ramadhan al-Buthi pula berkata:

Tidaklah menjadi satu kewajipan bagi seseorang muqallid untuk mengikuti salah satu mazhab tertentu, atau menjadi satu perkara yang haram baginya untuk berpindah-pindah mazhab. Begitu pula telah menjadi menjadi suatu kesepakatan kaum muslimin, bahawa seorang muqallid dapat memilih atau mengikuti salah satu mujtahid jika telah diyakini kebenaran mazhab-mazhab dan pendapat-pendapatnya, seperti seseorang berpindah-pindah kepada salah satu dari keempat imam mazhab.

Maka seandainya, pada masa sekarang ada yang melarang untuk berpindah-pindah mazhab, orang itu telah masuk dalam kategori fanatik yang menyesatkan, yang telah menjadi suatu kesepakatan kaum Muslimin untuk meniadakannya.

Suatu yang harus diketahui bagi seorang peneliti, tidak ada pertentangan bahawa tidak ada hukumnya bagi seorang muqallid untuk tidak mengikuti satu mazhab sahaja, atau berpindah-pindah ke mazhab yang lain. Artinya tidak ada kewajipan untuk terikat kepada salah satu mazhab tertentu, sama dengan tidak ada pelarangan untuk terikat kepada salah satu mazhab. (Dr. M. Said Ramadhan al-Buthi, Madzhab Tanpa
Madzhab Bid'ah Dalam Syari'at Islam, (edisi terjemahan oleh Gazira Abdi Ummah, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2001), ms. 9.)

Tambah beliau lagi:

Seorang muqallid jika dapat memahami suatu permasalahan dengan memahami dalil-dalilnya, baik dari al-Qur'an, hadis, atau kaedah ushuliyyah, maka wajib baginya untuk melepaskan diri dari mengambil pendapat imam-imam mazhab, apabila telah mampu melakukan ijtihad sendiri berdasarkan keilmuan yang dimiliki. (Dr. M. Said Ramadhan
al-Buthi, Madzhab Tanpa Madzhab Bid'ah Dalam Syari'at Islam, ms. 9-10)


Siri Hidup Biar Berilmu : Nikah Tanpa Wali Siri 6

حكم من تزوج بدون ولي وما يجب عليه أن يفعل.
سؤال من الأخ عبد العزيز ... ف يقول فيه إنه تزوج زوجته بدون ولي وقد أنجبت منه أولاداً، وقد اقتنع أن هذا النكاح غير صحيح ويسأل عما يفعل ؟.
نكاح المرأة بولي أو بدونه مما بحثه الفقهاء تفصيلاً، وتباين اجتهادهم فيه، فعند الإمام أبي حنيفة أن المرأة إذا زوجت نفسها سواء كانت بكراً أو ثيباً جاز النكاح، وسواء كان الزوج كفئاً لها أو غير كفء فإن لم يكن كفئاً فلأوليائها حق الاعتراض عليه. وعند صاحبه أبي يوسف أن الزوج إن كان كفئاً أمر القاضي الولي بإجازة العقد فإن أجازه جاز، وإن أبى أن يجيزه لم ينفسخ وللقاضي أن يجيزه فيجوز. وعند محمد بن الحسن صاحب الإمام أبي حنيفة يتوقف النكاح على إجازة الولي سواء زوجت نفسها من كفء أو غير كفء فإن أجازه الولي جاز وإن أبطله بطل، إلا أن الزوج إن كان كفئاً لها فينبغي للقاضي أن يجدد العقد إذا أبى الولي أن يزوجها منه (1).
وفي مذهب الإمام مالك قال الإمام: إنه لا نكاح إلا بولي وإن الولاية شرط في الصحة في رواية أشهب، وفي رواية ابن القاسم عن الإمام مالك أن اشتراط الولاية سنة وليست بفرض، حيث إنه كان يرى الميراث بين الزوجين بغير ولي (1).
وفي مذهب الإمام الشافعي لا يجوز النكاح إلا بولي (2). وفي مذهب الإمام أحمد لا نكاح إلا بولي وشاهدين من المسلمين (3). وفي المذهب الظاهري لا يحل للمرأة نكاح ثيباً كانت أو بكراً إلا بإذن وليها (4).
واستدل الإمام أبو حنيفة ومن معه على جواز نكاح المرأة دون ولي بقول الله تعالى: فلا جناح عليكم فيما فعلن في أنفسهن بالمعروف (5). وبقوله جل ذكره: حتى" تنكح زوجا غيره(6). وقوله عزوجل: أن ينكحن أزواجهن (7). فدل هذا على إضافة العقد إلى المرأة وتملكها لمباشرته.
هذا في الكتاب، أما من السنة فاستدلوا بقول رسول الله : (ليس للولي مع الثيب أمر) (8). وقوله عليه الصلاة والسلام: (الأيم أحق بنفسها من وليها) (1). وهي المرأة التي لا زوج لها بكراً كانت أو ثيباً، كما استدلوا بعدد من الوقائع ومنها قصة الخنساء بنت خذام الأنصاري التي زوجها أبوها وهي ثيب، فكرهت ذلك الزواج فأتت رسول الله فرد نكاحها (2). ومنها قصة الفتاة التي جاءت إلى عائشة -رضي الله عنها- فقالت: إن أبي زوجني ابن أخيه لرفع خسيسته وإني كرهت ذلك. فقالت لها عائشة اجلسي حتى يأتي رسول الله، فلما جاء عليه الصلاة والسلام فأخبرته فأرسل إلى أبيها فقالت: أما إذا كان الأمر إلي فقد أجزت ما صنع أبي إنما أردت أن أعلم هل للنساء من الأمر شيء (3).
وأما الذين اشترطوا الولاية في النكاح فاستدلوا بما روته عائشة -رضي الله عنها- أن رسول الله قال: (أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل، فإن أصابها فلها الصداق بما استحل به من فرجها). وفي رواية: (فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له)(4). وما روي عن ابن عباس -رضي الله عنه- أنه قال: "كل نكاح لم يحضره أربعة فهو سفاح، الزوج وولي وشاهدا عدل"(1).
واستدلوا بما أخبر به عكرمة بن خالد أن الطريق جمع ركباً فيهم امرأة ثيب فولت رجلاً منهم غير ولي أمرها فزوجها، فجلد عمر بن الخطاب الناكح والمنكح ورد نكاحها (2). كما استدلوا بأن رجلاً نكح امرأة من بني بكر فكتب وليها إلى عمر بن عبد العزيز يقول إنه وليها وإنها نكحت بغير أمره، فرد عمر نكاحها وقد أصاب الزوج منها (3).
كما استدلوا على وجوب الولي بأن جمعاً من الصحابة والتابعين أجمعوا على أن المرأة لا تملك تزويج نفسها ولا غيرها ولا توكيل غير وليها في تزويجها، ومنهم عمر وعلي وابن مسعود وابن عباس وعمر بن عبد العزيز والثوري والشافعي وغيرهم (4).
وذكر أبو الوليد بن رشد القرطبي أن سبب اختلاف الفقهاء في هذه المسألة أنه لم تأت آية ولا سنة ظاهرة في اشتراط الولاية في النكاح فضلاً عن أن يكون في ذلك نص، بل الآيات والسنن التي يحتج بها من يشترطها هي كلها محتملة، وكذلك الآيات والسنن التي يحتج بها من يشترط إسقاطها هي أيضاً محتملة في ذلك، والأحاديث مع كونها محتملة في ألفاظها مختلف في صحتها إلا حديث ابن عباس (5).
قلت: هذه خلاصة عن آراء الفقهاء، وسبق القول في هذه المسألة أنه مع تغير الأحوال بتغير الأزمان وما جد على العلائق بين الناس من تغير في السلوك تبعاً لواقع الزمن ومستجداته، وما رافق ذلك من اختلاط في بعض المؤسسات التعليمية، وما نشأ عن هذا الاختلاط من علاقات تؤدي إلى اختيار المرأة لزوجها دون إذن وليها، بل إصرارها على هذا الاختيار رغم ما قد يكون فيه من محاذير ومخاطر، فإن الواجب أن تكون الولاية شرطاً لصحة الزواج. ومع ما يؤيد هذا الشرط من الآثار التي استدل بها القائلون باشتراط الولي فإن في هذا الشرط ضمان للمرأة نفسها حين يساعدها وليها في اختيار الزوج الصالح لها، وفيه ضمان لأوليائها للحفاظ على سمعتهم، ودرءاً لما قد ينشأ من مشكلات بينهم وبين أزواج لا يرغبون فيهم (1).
ولكن هذا الشرط يجب أن لا يكون وسيلة يتحكم بها الولي في موليته فيمنع زواجها عمن يشاء، ويختار لها من يشاء دون أن يراعي في ذلك إذنها، وأهلية الزوج لها مما ينتج منه إكراه، وقسر، ومفاسد كثيرة.
وتأسيساً على ماسبق وحيث إن عقد النكاح عقد عظيم تنبني عليه نتائج مهمة ومقاصد دينية ودنيوية، فإنه يجب اشتراط الولاية فيه حفظاً لمصلحة الزوجين وسلامة عقدهما .
ولهذا فإن على الأخ السائل أن يذهب إلى القضاء فيصحح عقد نكاحه، وذلك بإجازة ولي المرأة لهذا النكاح، فإن لم يكن ثمة ولي لها فالقاضي هو وليها وفقاً للأحكام الشرعية في هذا الخصوص.

Siri Hidup Biar Berilmu : Nikah Tanpa Wali Siri 5 : النكاح بلا ولي

لعنوان مسألة في النكاح بلا ولي
المجيب عبد العزيز بن عبد الرحمن الشبرمي

التاريخ السبت 20 ربيع الأول 1431 الموافق 06 مارس 2010
السؤال

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته..

أردت الزواج بفتاة مطلقة ولها أبناء، أهلها رفضوا، وقد قرأت جواز الزواج على المذهب الحنفي بدون ولي، وعرضت على البنت الزواج وقالت إن أمها رفضت، فأحضرت ثلاثة أشخاص كشهود، ولم أوصهم بالكتمان، وقالت لي: زوَّجتك نفسي على المهر المسمى، وقلت: قبلت أمام الشهود، وكان المهر مهر مثيلاتها، وأنا شخص كفؤ لها. فهل هذا الزواج صحيح؟


الجواب

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد:

فإن مذهب جمهور الفقهاء من المالكية والشافعية والحنابلة وغيرهم أن كل نكاح وقع بدون ولي فهو باطل؛ بدليل قول النبي صلى الله عليه وسلم: أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل. كما في المستدرك وصحيح ابن حبان، وفي صحيح ابن حبان أيضاً عن عائشة أنه صلى الله عليه وسلم قال: لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل، وما كان من نكاح على غير ذلك فهو باطل، إلا أن يثبت عضل الولي لها، وحينئذ فهي كفاقدة الولي، والسلطان ولي من لا ولي له.

وذهب أبو حنيفة رحمه الله تعالى إلى أن للمرأة أن تزوج نفسها وغيرها وتوكل في النكاح لأن الله تعالى قال: "وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ مِنكُمْ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ" [البقرة:232].

أضاف النكاح إليهن، ونهى عن منعهن، ولأنه خالص حقها، وهي من أهل المباشرة فصح منها، واستدل الجمهور بالحديثين المتقدمين، ويفسخ النكاح بلا ولي قبل الدخول وبعده عند الجمهور، ولا يترتب عليه حد لشبهة العقد، والحدود تدرأ بالشبهات، ويلحق فيه الولد أيضاً نظراً للعقد هذا إذا تولى هذا العقد المذكور غير الحاكم أو نائبه،كما في سؤالك فإذا تولاه الحاكم أو نائبه فإنه لا ينقض، وعليه فإن العقد المذكور إن صح أنه وقع عند قاض من قضاة المسلمين وشهود فإنه صحيح ولا يفسخ، قال ابن قدامة في المغني بعد أن ذكر أن النكاح لا يصح إلا بولي قال: فإن حكم بصحة هذا العقد حاكم، أو كان المتولي لعقده حاكما لم يجز نقضه، وكذا سائر الأنكحة الفاسدة، وقال في المهذب: فإن عقد النكاح بغير ولي وحكم به الحاكم ففيه وجهان: أحدهما: أنه ينقص حكمه، لأنه مخالف لنص الخبر -يعني حديث عائشة المتقدم- الثاني: أنه لا ينقض وهو الصحيح لأنه مختلف فيه، وبالتالي فعليك اجتناب هذه المرأة إلا بعد استئناف العقد عليها بوليها الشرعي، ولا يعفيك كون الإمام أبي حنيفة أجازه مع العلم أنه يرى أن لا تلي عقد نكاحها بل توكل فيه رجلا يزوجها بعد إذن وليها، وعليك باتباع الدليل وتقليد جمهور الفقهاء. وبالله التوفيق..
منقول

Siri Hidup Biar Berilmu : Keutamaan Menikahi Janda

Sumber :http://revolusidamai.multiply.com/journal/item/527/Keutamaan_Menikahi_Janda
http://revolusidamai.multiply.com/journal/item/544/Keutamaan_Menikahi_Janda_II

Berapa banyak perpisahan begitu sulit bagi seseorang. Apalagi jika berpisah dengan orang yang sangat dicintai. Dan lebih manyakitkan bila perpisahan itu terjadi dengan orang yang selama ini menyertainya dalam perjuangan. Akan tetapi apa yang terjadi pada Umiyah Juha lebih pahit dari itu. ia kehilangan suaminya, As-Syahid Romi Saad dan setelah itu ia juga harus kehilangan suami keduanya, As-Syahid Wail Uqailan.

Menolong janda-janda -atau para gadis, yang sedang menunggu pasangannya di garis qadarullah yg di tuliskan Allah dalam lauhul mahfudz baginya saat usianya terus bertambah- yang tidak ada yang meminang mereka, lebih-lebih setelah perang, dimana laki-laki meninggal dalam jumlah besar baik yang telah menikah maupun belum menikah. Maka janda-janda mereka dan perawan-perawan mereka, apakah lebih baik mereka tetap seperti itu tanpa suami yang menolong mereka dan membiarkan mereka tetap menjadi perawan-perawan tua dan menjanda ? Tentunya tidak, jelas lebih baik bagi mereka menjadi isteri kedua atau ketiga atau keempat, jika memang perempuan itu menginginkan yang demikian.

Pilih Yang Salihah
Meski Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menganjurkan para pria untuk lebih mengutamakan perawan untuk dinikahi, bukan berarti beliau melarang seorang pria menikahi janda. Bukankah sebagian besar istri beliau juga janda?

Bagi seorang pria, menikahi janda juga bisa dijadikan pilihan. Apalagi jika ia berniat untuk menyantuni seorang wanita yang tidak lagi bersuami dan anak yatim yang kehilangan kasih sayang seorang ayah. Jika dilakukan dengan ikhlas, semua itu insyaallah akan membuahkan pahala yang besar.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

, “Wanita itu dinikahi karena empat hal. Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah agamanya, (kalau tidak) engkau akan celaka.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Pilihan Seorang Janda di Akhirat
wanita itu untuk suaminya yang paling baik akhlaknya, yang jika ia diberi kebebasan untuk memilih pasti memilihnya. Pendapat ini didasarkan pada hadist Anas Radhliyallahu?anhu dalam Mu'jam Al-Kabir,

Bahwa Ummu Habibah menanyakan kepada Rasulullah Shallahu'alaihi wa Sallam tentang wanita yang bersuami lebih dari satu, maka Rasulullah Shallahu?alaihi wa Sallam menjawab: Ia untuk yang terbaik akhlaknya. Wahai Ummu Habibah baiknya akhlak telah membawa kebaikan dunia dan akhirat?, (Hadist Dha'if, Lihat Ihya' Ulumuddin: 3/45, Ibnul Qayyim dalam Hadil Arwah: 158 dari Ummu Salamah, Al-Qurthubi dalam Al-Tadzkirah, tahqiq Hamid Ahmad Thahir:460)

Syekh Athiyah Saqr dari Al-Azhar memandang bahwa ini adalah termasuk perkara ghaib yang seharusnya dikembalikan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak bisa kita pastikan kecuali dengan khabar yang qath'i (pasti). Menurutnya pendapat yang lebih mirip dengan kenikmatan surga yang agung adalah pendapat yang kedua, yaitu untuk suaminya yang terbaik. Wallahu a'lam. (Fatawa Al-Azhar:10/28)

Diriwayat lain juga dikatakan :
Ummu Salamah berkata, “Ya Rasulullah, salah seorang wanita di antara kami pernah menikah dengan dua, tiga, atau empat laki-laki lalu meninggal dunia. Dia masuk surga dan merekapun masuk surga. Siapakah di antara laki-laki itu yang akan menjadi suaminya di surga?” Beliau menjawab, “Wahai Ummu Salamah, wanita itu disuruh memilih, lalu diapun memilih siapa di antara mereka yang paling baik akhlaqnya. Lalu dia berkata, “Rabbi, sesungguhnya lelaki inilah yang paling baik tatkala hidup bersamaku di dunia. Maka nikahkanlah aku dengannya…” …Wahai Ummu Salamah, akhlaq yang baik itu akan pergi membawa dua kebaikan, dunia dan akhirat.” (HR At Thabrani)

Hikmah Menikahi Janda
"maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat anianya" An-Nisaa’ : 3

Beberapa hikmah yang insya Allah dapat dipetik dari menikahi janda, antara lain :
1. Terselamatkannya mereka dunia dan akhirat
Allah berfirman dalam KitabNya Yang Mulia: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami ialah Allah’, kemudian mereka bersikap istiqamah, maka akan turun malaikat kepada mereka (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’” (Fushshilat:30)

2. Terselamatkannya anak mereka dari didikan yang tidak Islami
” Nyatalah bahwa pendidikan individu dalam islam mempunyai tujuan yang jelas dan tertentu, yaitu: menyiapkan individu untuk dapat beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tak perlu dinyatakan lagi bahwa totalitas agama Islam tidak membatasi pengertian ibadah pada shalat, shaum dan haji; tetapi setiap karya yang dilakukan seorang muslim dengan niat untuk Allah semata merupakan ibadah.” (Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al Mu’atstsirat as Salbiyah fi Tarbiyati at Thiflil Muslim wa Thuruq ‘Ilajiha, hal. 76).

“Jauhilah oleh kalian rumput hijau yang berada di tempat kotor.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Apakah yang dimaksud dengan rumput hijau yang berada di tempat kotor itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu, wanita yang sangat cantik, yang tumbuh berkembang di tempat yang tidak baik.” (HR. Daruquthni)

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6 ).

Imam adh-Dhahaq dan Muqaatil berkata, “seorang muslim wajib mengajari keluarganya (istri dan anaknya), termasuk juga kerabat-kerabatnya, budaknya yang perempuan dan laki-laki, apa saja yang telah Allah perintahkan dan larang atas mereka.”

Menurut Imam as-Sa’di makna memelihara keluarga dan anak-anak yaitu dengan mendidik dan mengajari mereka, menekankan mereka untuk melaksanakan perintah Allah, karena seorang hamba tidak akan selamat kecuali jika ia melaksanakan perintah Allah terhadap diri pribadinya dan orang-orang yang ada di bawah kendalinya, seperti istri, anak-anak, dan selain mereka yang di bawah kuasanya.

3. Tersebarkannya kasih sayang diantara kaum muslimin, diantara para muslimah, dan anak anak yatim.
“Wahai Rasulullah, saya memiliki saudara-saudara perempuan yang berjiwa keras, saya tidak mau membawa yang keras juga kepada mereka. janda ini saya harapkan mampu menyelesaikan permasalahan tersebut.” kata Jabir “benar katamu” jawab Nabi SAW.

"Barangsiapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakannya pada hari ia berjumpa dengan-Nya." (HR. Ibnu Khuzaimah dari Salman Al-Farisi pada Khutbah Rasulullah SAW menyambut Ramadhan)

Rasulullah S A W bersabda: Saya dan orang yang menanggung ( memelihara ) anak yatim. Ada disorga bagaikan ini, seraya beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah dan beliau merentangkan kedua jarinya itu. ( HR. Bukhari )

Allah berfirman: Nescaya Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosamu. (TQS Ali Imran : 31) Sesunggahnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir (TQS Ali Imran:32)

Al-Baidhawi menafsirkan pasti Allah akan redha kepadamu. Cinta Allah kepada kaum mukmin adalah pujian, pahala dan ampunanNya bagi mereka.
Al Azhari berkata, ‘ Cinta Allah kepada hambaNya adalah memberikan kenikmatan kepadanya dengan memberi ampunan’.
Sufyan bin Uyainah menafsirkan, Allah akan mendekatkan padamu. Cinta adalah kedekatan.

Dari Anas ra, Nabi saw bersabda: Ada tiga perkara, yang sesiapa memilikinya ia telah menemui kemanisan iman. Iaitu orang yang mencintai Allah dan Rasulnya lebih dari yang lain, (kedua), orang yang mencintai seseorang hanya kerana Allah, (ketiga) dan orang yang tidak suka kembali kepada kekufuran sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke neraka.(Mutafaq’alaih)

Sunguh besar balasan oranng yang mencintai kerana Allah swt. Dalam sebuah hadith Qudsi Riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya kelak di hari Kiamat Allah akan berfirman, “ Di mana orang-orang yang saling mencintai kerana keagungan Ku? Pada hari ini Aku akan memberikan kepadanya dalam naungan Ku di saat tiada naungan kecuali naungan Ku”

Allah ‘Azza wa jalla berfirman, “ Orang-orang yang saling mencintai kerana keagungan Ku, mereka mendapat mimbar-mimbar dari cahaya. Para Nabi dan syuhada pun tertarik dengan mereka. (HR: Tirmizi, Hasan shahih)

25/08/2009
01:10 WIB

Dalam hadis Rasulullah s.a.w. bersabda;
“Setiap anak yang lahir adalah lahir dalam fitrah. Dua ibu-bapaknyalah yang menjadikannya yahudi atau nasrani atau majusi”. (Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a.).

Maksud fitrah di dalam hadis di atas menurut ulama' ialah Islam. Hadis ini menjelaskan bahwa bayi yang lahir asalnya adalah Islam, cuma dengan pengaruh ibu/bapaknya maka ia berubah mengikut agama ibu/bapaknya. Maka jika ibu/bapaknya memeluk Islam, maka ia otomatik akan kembali kepada fitrahnya (Islam) dengan mengikuti ibu/bapaknya yang memeluk Islam.

Hadis di atas juga menjelaskan pengaruh ibu/bapak ke atas anak. Oleh itu, tidak harus mana-mana individu menyerahkan anaknya untuk diasuh oleh isteri/suaminya yang bukan Islam kerana nanti anaknya itu akan dipengaruhi untuk menganut agama bukan Islam. Ia wajib memelihara masa depan agama anaknya dan kewajipan ini termasuk dalam arahan Allah;

“Wahai orang-orang beriman! Peliharalah diri kamu dan ahli keluarga kamu dari neraka” (at-Tahrim; 6)

Ibnu ‘Abbas (semasa kecilnya) tinggal bersama ibunya (yang Islam) berserta golongan mustadh’afin (yang menganut Islam) dan beliau tidak tinggal bersama bapaknya yang masih menganut agama kaumnya (yakni agama musyrik). Dan beliau (yakni Ibnu ‘Abbas) menegaskan;

“Islam adalah tinggi dan tidak ada yang boleh mengatasi ketinggian Islam”. (Soheh al-Bukhari, kitab al-Janaiz, bab Iza Aslama as-Sobiyyi Fa Ma-ta..).

Imam al-Khattabi menjelas; “Anak yang masih kecil jika ia berada di antara seorang muslim dan seorang bukan Islam , maka yang muslim lebih berhak terhadapnya” (Ibanatul-Ahkam Syarah Bulughul-Maram, jil. 3, kitab al-Hadhonah, hlm. 467).

Menurut jumhur ulama'; hak penjaaan anak (hadhonah) tidak harus diberikan kepada ibu/bapak yang tidak Islam karena hadhonah adalah wilayah (penguasaan) dan Allah tidak membenarkan penguasaan orang tidak Islam ke atas orang beriman (yakni orang beriman tidak harus perjalanan hidupnya dikuasai atau ditentukan oleh orang bukan islam ). Ini sebagaimana firman Allah;

“Allah tidak sekali-kali akan memberi jalan kepada orang-orang bukan Islam untuk membinasakan orang-orang yang beriman. (an-Nisa’; 141).

Ia sama seperti larangan wanita muslim dinikahi lelaki bukan Islam kerana perkawinan tersebut menyebabkan wanita muslim berada di bawah penguasaan orang bukan Islam .

Menyerahkan anak untuk dijaga dan diasuh oleh orang bukan Islam akan menimbulkan kebimbangan terhadap masa depan agama anak tersebut karena ibu atau bapak yang bukan Islam sudah tentu cenderung untuk mendidik anak itu agar mengikut agamanya apabila besar nanti.

KEUTAMAAN MENIKAHI JANDA SYUHADA
Dalam firmannya Alloh berfirman: ”Kalian sungguh sungguh akan diuji terhadap harta dan dirimu. Dan juga kalian sungguh sungguh akan mendengar ejekan yang menyakitkan hati dari orang orang ahli kitab sebelum kalian dan dari orang orang musrik. Jika kalian bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut di utamakan.”[Q.S.3:186]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya : Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya". [Ath-Thalaaq : 2-3]

Ada tiga golongan yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya (HR. Ahmad 2:251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majjah hadits nomor 2518, dan Hakim 2:160)

Nabi menikahi Zainab binti Khuzaimah (janda syuhada perang Uhud, Ubaidah al-Harits), demikian pula menikahi Ummu Habibah binti Abu Sufyan, Saudah binti Zum'ah janda dari As-Sukran bin Amral Al-Anshari yang menemui syahid keran menjadikan dirinya perisai hidup bagi Rasulullah di medan perang.

"Dan siapa yang menanggung keluarga orang yang sedang berjihad, maka ia telah ikut berjihad" HR Muslim

Beberapa tujuan mulia untuk menikahi Janda terutama janda syuhada adalah:

1. Menjaga Kehormatan
Artinya: Perumpamaan orang-orang mukmin yang saling mencintai dan saling menyayangi serta saling mengasihi adalah bagaikan satu tubuh, apabila sebagian anggota tubuh itu sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan sakit. (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Saw. bersabda, “Orang yang menyantuni janda dan yatim seperti mujahid di jalan Allah.”
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

, “Wanita itu dinikahi karena empat hal. Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah agamanya, (kalau tidak) engkau akan celaka.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Rasulullah bersabda,”Siapa saja yang mendanai seorang pejuang untuk berjuang di jalan Allah, sudah melakukan jihad.” (Majma’ al Zawa’id).

Siapa saja dari kalian yang mengurus keluarga dan harta seorang mujahid akan menerima pahala setengah dari pahala berjihad (HR Muslim)

Mereka yang gugur syahid telah berjuang untuk Islam dan umat Islam. Mereka mengorbankan jiwa dan raga untuk saya dan untuk Anda. Itulah sebabnya keluarga para mujahidin gugur harus dilayani dan dihormati. Ketika Ja’far bin Abu Talib gugur dalam perang Mut’ah, Rasulullah saw berkata pada isteri-isterinya,”Siapkan makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka telah menunaikan urusan mereka”, kemudia Rasulullah datang ke rumah Ja’far. (HR Abu Dawud dan al-Tarmidzi).

Imam Ahmad meriwayatkan, ketika Rasulullah saw menerima kabar bahwa Ja’far gugur syahid, Rasulullah datang ke rumah Ja’far dan menyuruh isteri Ja’far agar memanggil anak-anaknya. Ketika anak-anak itu datang ke hadapan Rasulullah, Rasulullah saw memeluk dan mencium anak-anak Ja’far sambil meneteskan air mata. Asma, isteri Ja’far bertanya pada Rasulullah “apakah terjadi sesuatu?” Rasulullah berkata,” Ya, Ja’far gugur hari ini.” Asma berkata, ketika ia mendengar berita itu, ia menangis dan menjerit-jerit. Rasulullah pergi meninggalkannya dan meminta isteri-isterinya agar jangan lupa menyiapkan makanan untuk keluarga Ja’far karena keluarga Ja’far kesusahan karena urusan-urusannya.

Anak-anak para mujahid yang gugur membutuhkan para lelaki untuk menjaga dan mengurus mereka. Para istri mujahid yang gugur harus diberi kesempatan untuk menikah lagi, jika memang menginginkannya.Hal ini kata Awlaki, membutuhkan perubahan pada dua kebiasaan di kalangan umat Islam.

Umat Islam harus mengubah pandangan negatifnya terhadap kaum perempuan yang bercerai dan janda. Stigma negatif terhadap kaum perempuan yang bercerai atau menjadi janda harus dihapus dari komunitas Muslim. Kedua, bersikap lebih toleran dengan isu poligami. Karena ini menjadi kebutuhan, apalagi di saat terjadi peperangan. Pada masa sahabat Rasulullah, tidak ada perempuan yang dibiarkan tanpa suami.

Umar bin Khattab pernah mendengar salah seorang perempuan yang sedang mendendangkan syair-syair kerinduan. Sang Khalifah memperhatikan syair-syair yang didendangkan. Sampai pada akhirnya beliau bertanya kenapa ia menyanyikan lagu-lagu itu?

Ternyata, perempuan tersebut menjawab bahwa suaminya sudah beberapa lama ikut pasukan perang kaum muslimin di medan perang. Dan akhirnya Umar tahu bahwa ia merindukan sang suami yang sudah lama meninggalkannya. Sang Umar cepat-cepat tanggap dengan kondisi perempuan itu.

Ia segera bertanya kepada Aisyah anaknya, bagaimana sebenarnya perasaan seorang perempuan jika lama ditinggal suami? Dan kira-kira berapa batas waktu yang normal untuk ukuran seseorang meninggalkan pasangannya?

Awalnya sang anak malu-malu menjawab, tapi sebagai sosok teladan bagi umat, apalagi Aisyah adalah figur 'ummahatul mukminin', perempuan itu akhirnya memberi jawaban. Bahwa waktu empat bulan adalah jarak yang termasuk lama untuk menimbulkan sebuah rasa kerinduan.

Sejak itu, Umar memutuskan, jika memberangkatkan pasukan perang untuk berjihad, maka dalam waktu empat bulan sekali diadakan rukir, atau bergantian dengan tentara yang lain. Semua itu tentu saja untuk menghormati hak pribadi seorang anak manusia.

Demikian pula syariat Allah yang Maha Mulia telah memberikan tuntutannya hakikat menjaga kehormatannya “Arti : Kepada orang-orang yg meng-ilaa’ istri diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kpd istrinya), maka sesungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Baqarah : 226]

Demikian pula seorang janda yang memiliki anak-anak yang belum dewasa (sehingga menjadikan anak-anaknya sebagai mahram), maka hal tersebut lebih utama. Sabda Rasul saw, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar (bepergian) selama satu hari satu malam yang tidak disertai mahramnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma bahwasanya ia mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya dan janganlah seorang laki-laki masuk menjumpainya kecuali disertai mahramnya.” Kemudian seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah ! Sungguh aku ingin keluar bersama pasukan ini dan itu sedangkan istriku ingin menunaikan haji.” Maka bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Keluarlah bersama istrimu (menunaikan haji).” (Dikeluarkan hadits ini oleh Muslim dan Ahmad)

Imam Ahmad pernah ditanya : “Apakah anak-anak (laki-laki) bisa dijadikan mahram?” Beliau menjawab : “Tidak, hingga ia mencapai usia baligh karena ia belum dapat mengurus dirinya sendiri maka bagaimana ia dipercaya keluar mengantar seorang wanita. Hal itu karena mahram berfungsi sebagai penjaga bagi wanita tersebut dan ini tidak didapatkan kecuali dari orang yang baligh dan berakal.”

Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi mengomentari pernyataan di atas dengan mengatakan bahwa ucapan yang mengatakan disyaratkannya lelaki yang baligh dan berakal sebagai mahram bagi wanita di dalam safar, alangkah baiknya jika disempurnakan dengan menambahkan syarat berikutnya yaitu memiliki bashirah (ilmu dien), sehingga jadilah syarat itu : Baligh, berakal, dan memiliki bashirah. (Untuk pembahasan lebih lanjut tentang mahram, lihat Salafy Muslimah edisi XIV dalam Rubrik Kajian Kali Ini).

2. Menjaga Aqidah dan Semangat Jihad anak syuhada
musuh musuh Allah dari golongan kafir dan munafiqin senantiasa menganggap hina dan remeh perjuangan mujahidin di seluruh dunia. Merontokkan semangat dan pemahaman ummat akan Syariah dan Jihad, dan memberikan label yang buruk terhadap gelar para mujahid dan syuhada.

syaikh Anwar al Awlaki dalam Risalah Mendukung Mujahidin poin ke 30 mengungkapkan bahwa Meski jihad berhubungan dengan masalah fisik yang menjadi domain kaum pria, kaum perempuan juga perlu menjalankan “kehidupan para mujahidin” seperti yang dijalani suami-suami mereka.

Para istri harus memberikan dukungan bagi suami yang akan pergi berjihad, bersyukur jika sang suami mati syahid dan bersabar jika suaminya menjadi tawanan perang. Seorang perempuan

yang berjihad posisinya sama dengan perempuan dari kaum Ansor. Kaum perempuan itu melihat bagaimana Islam mengambil ayah, saudara lelaki, suami dan anak-anak lelaki mereka, tapi kaum perempuan itu tetap membuka pintu-pintu rumah mereka untuk para mujahidin, mengorbankan harta mereka untuk para mujahidin, karena mereka tahu pahala yang mereka dapatkan dari tindakan mereka.

Anak anak syuhada adalah penerus perjuangan orangtuanya, selayaknyalah aqidah dan semangat jihad (tarbiyah jihadiyyahnya) terjaga. Dimotivasi dalam keseharian dan dididik untuk meraih gelar terbaik dari Robbul semesta 'alam. Bagaimana khansa binti amr mampu menorehkan sejarah sebagai Ibu para syuhada. "Wahai anak-anakku, bila kalian bangun di esok hari dalam keadaan selamat Insya Allah, maka bersiaplah untuk memerangi musuh-musuh kalian, minta tolonglah kepada Allah dalam menghadapi mereka. Apabila kalian lihat api peperangan telah berkobar dan telah menyala maka bertarunglah dengan gigih supaya kalian mendapat kemenangan dan kemuliaan syurga yang kekal".

Maka keesokan harinya, dengan berbekal iman, tawakkal dan bersemangat yang keempat putra Khansa' bersegera maju ke medan laga. Dengan keberanian seorang mujahid fii sabilillah, mereka pantang mundur sedikitpun dalam menghadapi musuh.

Dengan pertolongan Allah Ta'ala, kaum muslimin berhasil memukul mundur tentara Parsi yang berjumlah besar. Namun keempat putra khansa' semuanya gugur, tatkala menghadapi musuh. Sampailah berita duka itu kepada ibu mukminah yang sabar ini. Namun tidaklah ia meratap dan menyesali diri, sebagaimana dulu dilakukannya sebelum Islam tatkala melepas saudara laki-lakinya yang terbunuh di medan perang. Yang terucap lirih dari lisannya hanyalah perkataan yang menggambarkan betapa kuatnya keyakinan pada Rabbnya dan betapa tabahnya dirinya.

"Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan aku dengan syahidnya mereka dan aku harap dari Rabbku agar mengumpulkan aku dengan mereka kelak di tempat rahmat-Nya yang kekal".

3. Menjaga generasi mulia / generasi mujahid
Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudriy, bahawasanya ia berkata:
“Rasulullah SAW ditanya, siapakah orang yang mulia (utama)? Beliau menjawab, “Seorang laki-laki yang berjihad di jalan Allah.” [HR Bukhari]

Hadis ini dengan sarih (jelas) telah menjelaskan kepada kita, bahawa orang yang berjihad di jalan Allah menduduki tempat yang utama. Kaum salaf al-soleh sangat memuliakan orang-orang yang dimuliakan Allah SWT. Mereka berlumba-lumba untuk memuliakan dan menghormati orang yang berjihad di jalan Allah. Di dalam kitab al-Sair al-Kabiir dituturkan sebuah riwayat dari Mujahid (beliau adalah seorang tabi’in dan termasuk muridnya Ibnu Umar), bahawasanya ia (Mujahid) berkata, “Saya hendak pergi berjihad”. Mendengar ini, Ibnu Umar segera menuntun kudaku!! Aku pun melarang dirinya melakukan hal itu. Namun, ia berkata, “Apakah kamu tidak suka aku mendapatkan pahala? Sungguh, telah sampai berita kepada kami (Ibnu ‘Umar) bahawa orang yang membantu kaum Mujahid, maka kedudukannya diantara penduduk dunia tak ubahnya dengan kedudukan Malaikat Jibril di antara penduduk langit.” [al-Sair al-Kabiir, juz 1/30]

Siri Hidup Biar Berilmu : Nikah Tanpa Wali Siri 4

sumber : http://alianoor.wordpress.com/nikah-tanpa-wali-sahkah/

nikah tanpa wali, sahkah ?
Oleh alianoor
Salah satu fenomena yang terjadi dewasa ini adalah maraknya pernikahan ‘jalan pintas’ ( nikah sirri ) dimana seorang wanita yang telah dewasa manakala tidak mendapatkan restu dari kedua orangtuanya atau merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia lebih memilih untuk menikah tanpa walinya tersebut dan berpindah tangan kepada para penghulu bahkan kepada orang ‘yang diangkat’ nya sendiri sebagai walinya. Hal ini dilakukan dalam rangka upaya untuk menghindari perzinaan.

Keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakan perkara khilafiyah ( berbeda pendapat ) dikalangan para ulama mazhab, artinya seorang muslim boleh dan tidak tercela mengambil atau berpegang kepada salah satu dari dua pendapat tersebut tanpa saling menyalahkan, tentunya dengan landasan ilmu dan pemahaman bukan sekedar ikut-ikutan ;

1. Jumhur (mayoritas-kebanyakan) ulama mazhab menyatakan bahwa wali dalam pernikahan adalah rukun nikah. Artinya tidak sah nikah tanpa wali. Berdasarkan beberapa hadits ; Dari Abu Burdah, dari Abu Musa dari ayahnya –radliyallâhu ‘anhuma-, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.” Dalam hadits lain ; Dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ : “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi.” Dan dari ‘Aisyah radliyallâhu ‘anha, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil; jika dia (suami) sudah berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan dari dihalalkannya farajnya; dan jika mereka berselisih, maka sultan (penguasa/hakim dan yang mewakilinya-red.,) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”

Hadits pertama dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat Imam hadits, pengarang kitab-kitab as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy, Abu Daud dan Ibn Majah). Hadits tersebut dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn Hibban yang menganggapnya memiliki ‘illat (cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya mata rantai jalur transmisinya setelah seorang dari Tabi’in, seperti bila seorang Tab’iy berkata, “Rasulullah bersabda, demikian…”).

Hadits kedua dari kajian ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari al-Hasan dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah). Menurut Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, kualitas hadits ini adalah Shahîh dan dikeluarkan oleh Abu Daud, at-Turmudziy, ath-Thahawiy, Ibn Hibban, ad-Daruquthniy, al-Hâkim, al-Baihaqiy dan selain mereka. Hadits ini juga dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy, Ahmad, Ibn Ma’in, at-Turmudziy, adz-Dzuhliy, Ibn Hibban dan al-Hâkim serta disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy.

Sedangkan hadits yang ketiga dari kajian ini, kualitasnya adalah Hasan. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad, asy-Syafi’iy, Abu Daud, at-Turmudziy, Ibn Majah, ad-Daruquthniy, al-Hâkim dan al-Baihaqiy serta selain mereka dari jalur yang banyak sekali melalui Ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari az-Zuhriy dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Rijâl (Para periwayat dalam mata rantai periwayatan) tersebut semuanya Tsiqât dan termasuk Rijâl Imam Muslim.

2. Sebagian Ulama menyatakan bahwa wali tidak menjadi syarat atau rukun sebuah pernikahan. Artinya pernikahan dianggap sah walau tanpa wali apabila wanita yang akan menikah tersebut sudah dewasa ( janda atau perawan ). Dan Pendapat ini dipegang oleh Imam Abu Hanifah.

Al-Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar mengatakan bahwa hadits ini ( Larangan nikah tanpa wali ) tidak sunyi dari pertikaian yaitu dari segi bersambung atau terputus sanad.

Dua orang ulama besar dalam ilmu hadits yaitu Sufyan al-Thawri dan Shu`bah ibn al-Hajjaj mengatakan hadith ini mursal. Terdapat seorang perawi bernama Abu Ishaq al-Hamdani seorang yang thiqah tetapi mudallis seperti yang disebut oleh Ibn Hibban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat al-Bayhaqi semua perawinya adalah thiqah tetapi hanya mawquf pada Abu Hurayrah.

Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah dan al-Tabarani terdapat seorang perawi bernama al-Hajjaj ibn Arta’ah seorang daif dan mudallis. Ibn Hanbl berkat hamper semua riwaytanya mempunyai ziyadah, Ibn al-Madini meninggalkannya. Abu Htaim al-Razi berkata beliau saduq tetapi yudallis dari du`afa’.

Lantaran itu, al-Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wali tidak diambil secara mutlak dan tidak perlu keizinan wali berdasarkan hadits sahih yang artinya, “Wanita yang tidak bersuami itu (al-ayyim) lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.” Riwayat al-Jama`ah kecuali al-Bukhari. Yakni dengan syarat ia mengawinkan dirinya dengan lelaki yg sekufu.

Abu Hanifah menangggap zahir nas al-Quran itu amat kuat dan tidak boleh ditakhsis atau ditafsil oleh hadith al-Ahad. Beliau hanya menerima hadith mutawatir atau mashhur yang tidak dipertikaikan. Abu Hanifah menolak hadith al-Zuhri di atas karena apabila al-Zuhri ditanya tentang hadits tersebut beliau tidak mengetahuinya dan menafikan bahwa beliau meriwayatkannya. Dalam sanad hadits riwayat Ibn Majah pula ada seorang pendusta bernama Jamil ibn Hasan al-‘Ataki.

Abu Hanifah dan al-Hanafiyyah juga berhujah dengan qiyas iaitu apabila wanita bebas dalam aqad jual beli dan urusan-urusan lain, maka mereka juga bebas tentang aqad perkawinan mereka. Ini karena tiada perbedaan antara satu aqad dengan aqad yang lain. Mereka juga mengqiyaskan wanita dengan lelaki dalam mewalikan diri sendiri setelah aqil baligh.

Al-Imam Malik ibn Anas

Malik ibn Anas membenarkan wanita yang tidak cantik, tidak berharta, tidak berketurunan mulia untuk nikah tanpa wali. Dawud al-Zahiri mengharuskan nikah tanpa wali bagi janda dan mensyaratkan wali bagi wanita perawan.

Al-Imam al-Shafii

Yunus ibn ‘Abd al-A`la mengatakan bahwa al-Imam al-Shafi`i sendiri mengatakan bahwa sekiranya seorang wanita dalam musafir dan ketiadaan wali, lalu ia tahkim yaitu menyerahkan perkawinannya kepada seorang lelaki, maka itu adalah harus (boleh). al-Nawawi menyokong perkara itu dengan syarat lelaki itu mesti adil. al-Nawawi mengatakan bahawa Yunus seorang yang thiqah.

Shaykh ‘Abd al-Rahman al-Jaziri seorang faqih terkemuka al-Azhar mengatakan bahawa kedua-dua bentuk pernikahan adalah sah, amat perlu dalam masyarakat Islam dan beliau menyokong hujah-hujah Hanafiyyah. Beliau berpendapat bahawa perkara ini menunjukkan kekekalan, kesyumulan dan kesesuaian Islam untuk menyelesaikan masalah masyarakat pada setiap masa dan tempat sehingga tidak ada seorang pun yang teraniaya. Kedua-dua pendapat adalah bagus, boleh diamalkan dan diterima akal. Menurut beliau, apabila aqad mengikut mazhab jumhur terhalang karena sesuatu sebab, umat Islam perlu menggunakan pendapat yang kedua (Pendapat Abu Hanifah) dan hal tersebut tidak tercela.

Mazhab al-Imam Abu Thawr dan al-Awza`i

Abu Thawr dan al-Awza`i mengatakan bahwa harus (boleh) bagi wanita muslimah mewalikan dirinya sendiri dengan izin walinya berpegang dengan mafhum hadits, “Mana-mana perempuan yang bernikah tanpa izin walinya…”. kesahihan aqad nikah oleh seseorang perawan atau janda adalah pendapat ‘Amir al-Sha`bi, Zufar, dan ulama Kufah. Mereka berpendapat wali bukan rukun sah nikah tapi hanya syarat tamam (kesempurnaan) nikah. Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan al-Awza`i mengatakan perkara ini sah dengan keizinan wali.

Hujah-hujah Mazhab al-Imam Abu Hanifah r.a.

1. Hadith wali dhaif (lemah)

al-Imam Abu Hanifah r.a. mengganggap hadiths wali ( larangan nikah tanpa wali) adalah dhaif (lemah) lalu tidak mewajibkan wali bagi seseorg muslimah baik perawan atau janda.

Al-Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar mengatakan bahawa hadits ini (larangan nikah tanpa wali) tidak sunyi dari pertikaian yaitu dari segi bersambung atau terputus sanad. Dua orang ulama besar dalam ilmu hadits yaitu Sufyan al-Thawri dan Shu`bah ibn al-Hajjaj mengatakan hadith ini mursal. Terdapat seorang perawi bernama Abu Ishaq al-Hamdani seorang yang thiqah tetapi mudallis seperti yang disebut oleh Ibn Hibban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat al-Bayhaqi semua perawinya adalah thiqah tetapi hanya mawquf pada Abu Hurayrah.

Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah dan al-Tabarani terdapat seorang perawi bernama al-Hajjaj ibn Arta’ah seorang daif dan mudallis. Ibn Hanbal berkata hamper semua riwayatnya mempunyai ziyadah, Ibn al-Madini meninggalkannya. Abu Hatim al-Razi berkata beliau saduq tetapi mudallis dari du`afa’.

2. Hujah hadits sahih

Lantaran itu, al-Imam Abu Hanifah mengatakan bahawa wali tidak diambil secara mutlak (karena hadits – hadits wali tidak sahih) dan tidak perlu keizinan wali berdasarkan hadits sahih yang maknanya, “Wanita yang tidak bersuami itu (al-ayyim) lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.” Riwayat al-Jama`ah kecuali al-Bukhari. Ayyim menurut bahasa ialah setiap wanita yg tidak bersuami baik ia perawan atau janda. Yakni dengan syarat ia mengawinkan dirinya dengan lelaki yang sekufu (sepadan).

Sekiranaya hadits-hadits wali adalah sahih, maka ia hanya khusus untuk wanita yg masih kecil belum baligh dan wanita gila. Adapun muslimah yg telah baligh ( dewasa) maka ia berhak mewalikan dirinya sendiri (haqq al-tasurruf). Beliau dan pengikutnya dari kalngan ulama hanfiyyah mentafsirkan hadits Tiada nikah melainkan dgn wali sebagai tidak sempurna nikah , bukan tidak sah nikah.

3. Zhahir ayat-ayat al-Quran

Al-Imam Abu Hanifah berhujah dgn zahir ayat2 al-Quran yg menyatakan perempuan itu menikahkan dirinya sendiri iaitu 230, 232 dan 234 surah al-Baqarah ;

230. kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.

232. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.

234. orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Abu Hanifah mengangggap zahir nas al-Quran itu amat kuat dan tidak boleh ditakhsis atau ditafsil oleh hadith al-Ahad. Beliau hanya menerima hadith mutawatir atau mashhur yang tidak dipertikaikan. Abu Hanifah menolak hadith al-Zuhri di atas karena apabila al-Zuhri ditanya tentang hadits tersebut beliau tidak mengetahuinya dan menafikan bahwa beliau meriwayatkannya. Dalam sanad hadith riwayat Ibn Majah pula ada seorang pendusta bernama Jamil ibn Hasan al-‘Ataki.

4. Hujah qiyas

Al-Imam Abu Hanifah dan Ulama al-Hanafiyyah juga berhujah dengan qiyas yaitu apabila wanita bebas dalam aqad jual beli dan aqad urusan-urusan lain, maka mereka juga bebas secara mutlak tentang aqad perkawinan mereka. Ini karena tiada perbedaan antara satu aqad dengan aqad yang lain. Mereka juga mengqiyaskan wanita dengan lelaki dalam mewalikan diri sendiri setelah aqil baligh. Menghalang wanita yg baligh dan aqil mengahwinkan diriny dgn mana2 lelkai yg sekufu adalah bersalaagn dgn prinsip2 Islam yg asas (qawa`id al-Islam al-‘ammah).

Al-Hafiz Ibn Abi Shaybah meriwayatkan dengan dua sanad yang sahih dari Zuhri dan Sha’bi tentang nikah tanpa wali, keduanya berkata, Sekiranya dengan lelaki sekufu ia adalah harus (sah).

Al-Imam Abu Thawr dan al-Awza`i mengatakan bahwa harus (boleh) bagi wanita muslimah mewalikan dirinya sendiri dengan izin walinya berpegang dengan mafhum (pemahaman) hadits, “Mana-mana perempuan yang bernikah tanpa izin walinya…”

kesahihan aqad nikah oleh seseorang perawan atau janda adalah pendapat ‘Amir al-Sha`bi, Zufar, dan ulama Kufah. Mereka berpendapat wali bukan rukun sah nikah tapi hanya syarat tamam (kesempurnaan) nikah. Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan al-Awza`i mengatakan perkara ini sah dengan keizinan wali.

NIKAH BERWALIKAN LELAKI SHALIH

Al-Imam Ibn Sirin

Al-Hafiz Ibn Hazm berkata telah sabit riwayatnya yang sahih dari Ibn Sirin, bahwa perempuan yang tidak mempunyai wali lalu menyerahkan kewaliannya kepada lelaki yang sholeh untuk mengaqadkannya maka ia adalah harus (sah). Berdasarkan ayat 55 dari al-Qur’an surah al-maidah ; Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).

Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan atau syarat, yang mereka pahami dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbeda antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab 1ain; bukan di sini tempatnya untuk diuraikan.

Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam keadaan ‘iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi, sebagaimana disebutkan di atas.

Abu Hanifah dan Abu Yusuf Berpendapat: “Sesungguhnya wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat berhak mengurus sendiri `aqad pernikahannya, baik ia gadis maupun janda. Tetapi yang sebaiknya ia menguasakan `aqad nikahnya itu kepada walinya, demi menjaga pandangan yang kurang wajar, dari pihak pria asing, seandainya ia sendiri yang melangsungkan aqad nikahnya itu. Tetapi wali `ashib (ahli waris) tidaklah mempunyai hak untuk menghalang halanginya bila mana seorang wanita menikah dengan seorang pria dengan mahar yang kurang dari nilai mitsl (batas minimal).

Jika seorang wanita kawin dengan pria yang tidak sederajat tanpa persetujuan wali ‘ashibnya, menurut pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Abu Y’usuf, pernikahan tersebut tidak sah. Pendapat ini cukup beralasan karena tidak setiap wali dapat mengadukan perkaranya kepada Hakim, dan tidak setiap Hakim dapat memutuskannya dengan adil.

Dalam keterangan lain disebutkan bahwa Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat Bahwa wali berhak menghalang-halangi perkawinan wanita dengan pria yang tidak sederajat dengan jalan permohonan kepada Pengadilan untuk membatalkannya. Dengan alasan untuk menjaga `aib yang kemungkinan timbul dari pihak suaminya selama belum melahirkan atau belum hamil. Jika ternyata sudah hamil atau melahirkan, maka gugurlah haknya untuk meminta pembatalan Pengadilan, demi menjaga kepentingan anak din memelihara kandungannya. Tetapi jika pihak prianya sederajat, sedangkan maharnya kurang dari mahar mitsl, dan jika wali mau menerima calon suami ini, maka perkawinannya boleh terus berlangsung. Sebaiknya, kalau ia menolak, yang bersangkutan boleh mengadu kepada Hakim untuk meminta pembatalan.

Seandainya dari pihak wanita tidak mempunyai wali `ashib (ahli waris) yaitu sama sekali tak mempunyai wali atau wali yang bukan wali `ashib, maka tak ada hak bagi seorangpun diantara mereka ini untuk menghalang-halangi aqad nikahnya, baik ia kawin dengan pria sederajat atau tidak, dengan mahar mitsl atau kurang. Sebab dalam keadaan demikian seluruh urusan dirinya menjadi tanggung jawabnya sendiri sepenuhnya. Seandainya tidak ada seorang wali yang merasa terkenal, karena perkawinannya dengan pria yang tidak sederajat itu dengan sendirinya mahar mitslnya menjadi gugur, sebab ia sudah terlepas dari wewenang wali-walinya.

Kesimpulannya ; Dalam Fikih Abu Hanifah terdapat Konsep Wali nikah (tidak wajib) yang kontradiktif dengan jumhur (kebanyakan) ulama fikih, yaitu “la yustararul waliyu fi sihhatin nikah al-balighah.” maksudnya adalah bolehnya nikah tanpa wali bagi wanita yang sudah dewasa (perawan atau janda), bahkan lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang wanita dewasa boleh melakukan akad nikahnya sendiri tanpa perantara walinya. Adapun argumentasi yang diajukan oleh Abu Hanifah adalah:

1. Q.S. Al- Baqarah (2): 230; “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itutidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain….” Dan Q.S. Al- Baqarah (2): 234 yakni “…Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut…” Dalam ketiga ayat tersebut, akad dinisbahkan kepada perempuan, hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak melakukan pernikahan secara langsung (tanpa wali).

2. Perempuan bebas melakukan akad jual-beli dan akad-akad lainnya, karena itu ia bebas melakukan akad nikahnya. Karena tidak ada perbedaan hokum antara akad nikah dengan akad-akad lainnya.

3. Hadis-hadis yang mengaitkan sahnya perkawinan dengan ijin wali bersifat khusus, yaitu ketika sang perempuan yang akan menikahkan dirinya itu tidak memenuhi syarat untuk bertindak sendiri, misalnya karena masih belum dewasa atau tidak memiliki akal sehat. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW : ”Orang-orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak atas perkawinan dirinya daripada walinya, dan gadis itu dimintakan persetujuannya untuk dinikahkan dan tanda ijinnya ialah diamnya” (Hadits Bukhari Muslim).

Penutup

Dari dua pendapat, di atas mana yang benar? Tentunya seseorang tidak bisa mengklaim dan memvonis pendapat ini paling benar, atau pendapat itu salah (bathil). Sebab kesemuanya itu merupakan bentuk ijtihad ulama mazhab (Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal) dikalangan ahlussunnah wal jama’ah, yang kita boleh mengambil dan memilih mana yang cocok dan diyakini oleh kita. Sebab kebenaran mutlak hanya datangnya dari Allah dan Rasul-Nya saja. ( Wallahu A’lam bish-Showab)

*) tulisan ini diambil dari berbagai sumber oleh Alianoor H.Asmuni Basri (Penyuluh Agama Islam Fungsional Kandepag Barito Utara).