Saat ini aku menulis tanda ingatanku kepada Yang Maha Mencipta dan Baginda Rasul S.A.W

Bila melihat awan, langit, bumi, lautan mengingatkan aku kepada betapa besarnya Sang Pencipta. Terasa kerdil sekali diri ini bila hendak berdepan dengan Mu. Saat ini juga membuatkan aku menangisi segala kesilapanku yang lalu dan belum mampu aku tinggalkan. Aku mencari sebutir permata untuk ku jadikan cahaya pada jalanku yang gelap ini. Sesungguhnya ujian Allah kepada hambanya terlalu besar dan cukup mengajarku tentang erti kesabaran dan berusaha menjadi lebih baik daripada semalam walaupun ianya terlalu sukar dan memeritkan...

Thursday, November 4, 2010

Siri Hidup Biar Berilmu : Nikah Tanpa Wali Siri 1 : Nikah Tanpa Wali Bagi Wanita Dewasa(janda) (Studi Fikih Abu Hanifah)

{ September 12, 2008 @ 4:15 pm } · { Ahwal Al-syakhsiyah }
{ Tags: wali nikah }

Sebagaimana kita ketahui, bahwa hukum yang berlaku di indonesia mensyaratkan adanya wali dalam suatu pernikahan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam sejarahnya, Kompilasi Hukum Islam dirumuskan dengan memperhatikan iklim fikih ke-Indonesiaan yang memang lebih banyak mengadopsi dari fikih Syafi’i. Sementara ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam ini tidak sependapat dengan konsep Abu Hanifah.
Dalam Fikih Abu Hanifah terdapat Konsep Wali nikah yang kontradiktif dengan jumhur ulama fikih, yaitu “la yustararul waliyu fi sihhatin nikah al-balighah.” maksudnya adalah bolehnya nikah tanpa wali bagi wanita yang sudah dewasa, bahkan lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang wanita dewasa boleh melakukan akad nikahnya sendiri tanpa perantara walinya.
Adapun argumentasi yang diajukan oleh Abu Hanifah adalah:
1. Q.S. Al- Baqarah (2): 230; “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itutidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain….” Dan Q.S. Al- Baqarah (2): 234 yakni “…Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut…”
Dalam ketiga ayat tersebut, akad dinisbahkan kepada perempuan, hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak melakukan pernikahan secara langsung (tanpa wali).
2. Perempuan bebas melakukan akad jual-beli dan akad-akad lainnya, karena itu ia bebas melakukan akad nikahnya. Karena tidak ada perbedaan hokum antara akad nikah dengan akad-akad lainnya.
3. Hadis-hadis yang mengaitkan sahnya perkawinan dengan ijin wali bersifat khusus, yaitu ketika sang perempuan yang akan menikahkan dirinya itu tidak memenuhi syarat untuk bertindak sendiri, misalnya karena masih belum dewasa atau tidak memiliki akal sehat.
Hal ini berdasarkan Hadits Nabi : ”Orang-orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak atas perkawinan dirinya daripada walinya, dan gadis itu dimintakan persetujuannya untuk dinikahkan dan tanda ijinnya ialah diamnya” (Hadits Bukhari Muslim).
Meskipun terdapat pendapat yang membolehkan perempuan dewasa dan memiliki akal sehat untuk melakukan pernikahan sendiri, namun pendapat ini bukanlah pendapat yang diterima dan berlaku secara umum di dunia muslim. Di Indonesia, misalnya, dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan, dan tanpa wali perkawinan tidak sah.
Akan tetapi fenomena di masyarakat, banyak ditemukan kasus mengenai perkawinan yang tidak sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam. Ternyata seseorang yang mau melakukan perkawinan tidak semua prosesnya berjalan dengan lancar. Terutama ketika seorang laki-laki mau menikahi seorang wanita lantas tidak disetujui oleh orang tuanya yang akan betindak sebagai walinya. Akibatnya banyak ditemukan kasus di masyarakat seperti halnya kawin paksa, kawin lari, seks pra nikah dan lain sebagainya.
Konsep fikih Abu Hanifah dengan Kompilasi Hukum Islam dalam membahas mengenai Wali nikah tetap akan berseberangan satu sama lain. Padahal ada beberapa permasalahan yang harus diselesaikan. Jika kita berusaha untuk mencari celah diantara kedua konsep itu mungkin akan kita dapatkan bahwa konsep “nikah tanpa wali” dapat menjadi solusi bagi beberapa kasus yang menyimpang dari ketentuan pasal-pasal KHI, seperti contoh di atas. Tentunya ini hanya khusus pada kasus-kasus tertentu dan dengan syarat tertentu pula.

No comments:

Post a Comment